Empat Putera Petir untuk Prof. Widjajono
⋅ ⋅ 419 Komentar
Senin, 23 April 2012
Saya terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru saja meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (21/4), yakni: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM?
Almarhum sering sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).
Almarhum juga sangat setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan, almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor BBM.
Pertamina dikesankan lebih senang impor BBM karena bisa menjadi obyek korupsi dan kolusi. Istilah mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan –entah seperti apa wujud mafia itu. Seserius-serius Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat
Tidak mungkinkah kita berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.
Kalau kita menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak kekurangannya itu?
Sejak 15 tahun lalu, kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru tahun lalu Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300.000 barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp 70 triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina harus menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya beda pula desain teknologinya.
Para pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600 ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.
Kalau dalam masa pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus, tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Dari gambaran itu, jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita tahu persis apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.
Di sinilah Prof Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut beliau, seharusnya juga dilihat dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM, menurut beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM sebanyak-banyaknya!
Kalau Prof Widjajono sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun, kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat bahwa upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.
Saya bersyukur sempat menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksikannya ada empat orang.
Saya sudah melakukan kontak intensif dengan empat orang tersebut. Saya juga sudah membuat grup email bersama di antara empat orang tersebut. Kami bisa melakukan rapat jarak-jauh membicarakan program-program ke depan. Tanggal 21 April kemarin, kami menyelenggarakan rapat sesuai dengan program semula, meski pun rapat itu berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut adalah orang-orang muda yang luar biasa.
Ada nama Mario Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, kemudian mendapat bea siswa kuliah di Jerman. Mario bahkan sudah melahirkan prototype sepeda motor listrik dan mobil listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat siap memproduksi mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun terakhir, Mario bekerjasama dengan LIPI dan ITB.
Ada nama Dasep Ahmadi yang juga kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), yang kemudian sekolah di Jepang. Dasep pernah bekerja lama di industri mobil sehingga tahu persis soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin presisi dan memasok mesin-mesin untuk industri mobil. Dasep sangat siap melahirkan prototype mobil listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini Dasep sedang mengerjakan mobil-mobil itu.
Ada nama Ravi Desai. Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi sudah lama menjadi warga negara Indonesia. Dia lulusan universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia mendirikan D Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC dan AC drive dan sudah memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi sedang mengerjakan dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai dalam dua bulan mendatang.
Ada pula nama Danet Suryatama. Anak Pacitan ini setelah lulus ITS melanjutkan kuliah di Michigan, AS. Danet kemudian bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di Amerika Setikat, Chrysler, selama 10 tahun. Danet sangat siap memproduksi mobil listrik nasional. Saat ini, sambil mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua bulan ke depan.
Tentu saya bisa salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk itu saya siap menerima koreksi dan nama susulan.
Kepada keempat orang itu saya juga sudah informasikan betapa besar perhatian Presiden SBY pada perencanaan mobil listrik nasional ini. Saya juga kemukakan suasana pertemuan antara Presiden SBY dan empat rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI, dan ITS) yang penuh dengan semangat.
Waktu itu para rektor menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan memang sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing perguruan tingginya siap memberikan dukungan apa saja.
Sebenarnya saya ingin menghadirkan Prof Widjajono dalam pertemuan dengan empat putra petir itu dalam waktu dekat. Tapi, Prof Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu Prof, saya berjanji kepada Profesor akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan dengan empat putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan kepada saya. Saya juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik nasional itu nanti ke alamat email Anda. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Saya terkesan dengan logika berpikir Prof Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang baru saja meninggal dunia di pendakiannya ke Gunung Tambora Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (21/4), yakni: kurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).
Kalau sudah tahu bahwa produksi minyak kita terus menurun, kemampuan kita membangun kilang juga terbatas dan pertambahan kendaraan tidak bisa dicegah, mengapa kita terus mempertahankan pemakaian BBM?
Almarhum sering sekali mengajak saya berbicara soal itu. Almarhum merasa perdebatan soal BBM yang riuh-rendah selama ini sangat tidak mendasar. Tidak menyelesaikan akar persoalan. Hanya menimbulkan huru-hara politik. Saya sangat setuju dengan konsep almarhum untuk semakin beralih ke gas. Hanya saja memang diperlukan upaya yang ekstra keras untuk mengalihkan kebiasaan menggunakan BBM ke bahan bakar gas (BBG).
Almarhum juga sangat setuju mobil listrik nasional diperjuangkan. Bahkan, almarhum mengatakan BBM harus dikeroyok ramai-ramai dari segala jurusan. Terutama dari jurusan gas dan dari jurusan listrik. Tanpa usaha yang keras dari dua jurusan itu akan terus timbul kesan di masyarakat bahwa pemerintah, khususnya Pertamina, sengaja lebih menyukai impor BBM.
Pertamina dikesankan lebih senang impor BBM karena bisa menjadi obyek korupsi dan kolusi. Istilah mafia impor BBM begitu gencarnya ditudingkan –entah seperti apa wujud mafia itu. Seserius-serius Pertamina berupaya memberantas korupsi, tuduhan itu akan terus berlangsung. Apalagi, kenyataannya, impor BBM-nya memang terus meningkat
Tidak mungkinkah kita berhenti impor BBM? Tentu saja bisa. Tapi syaratnya berat sekali: kita harus memiliki kilang yang cukup. Minyak mentah itu baru bisa jadi BBM kalau sudah diolah di kilang. Kebutuhan BBM kita sekarang ini sekitar 50 juta kiloliter/tahun. Sedang kilang kita sendiri hanya bisa memproduksi BBM kurang dari separonya.
Kalau kita menghendaki tidak mau impor BBM lagi, kita harus membangun kilang baru sebanyak dan sebesar yang telah ada sekarang. Saat ini kita punya tujuh kilang minyak: Pangkalan Brandan, Dumai, Musi, Cilacap, Balikpapan, Kasim, dan Balongan. Total kapasitas produksi BBM-nya kurang dari 25 juta kiloliter/tahun.
Di sinilah pokok persoalannya. Mampukah kita membangun sekaligus kilang-kilang baru sebanyak kekurangannya itu?
Sejak 15 tahun lalu, kita memang tidak pernah punya kemampuan membangun kilang baru. Kilang terbaru kita umurnya sudah 18 tahun. Yakni kilang Balongan, Jabar, yang dibangun oleh Presiden Soeharto di tahun 1994. Presiden-presiden berikutnya tidak sempat memikirkan pembangunan kilang baru. Padahal, jumlah kendaraan terus bertambah. Akibatnya impor BBM tidak bisa dihindarkan. Bahkan terus meningkat.
Baru tahun lalu Presiden SBY memutuskan membangun kilang tambahan di Cilacap. Tahun ini Presiden SBY juga sudah memutuskan membangun dua kilang lagi. Tapi, Pertamina tidak mungkin membiayai pembangunan kilang-kilang itu sendirian. Sebuah kilang dengan kapasitas 300.000 barel, memerlukan biaya investasi sampai Rp 70 triliun. Bayangkan kalau harus membangun tiga kilang sekaligus.
Pertamina harus menggandeng investor. Mencari investor pun tidak mudah. Di samping biayanya sangat besar, masih ada kesulitan lain: sebuah kilang, baru bisa dibangun manakala sudah diketahui jenis minyak mentah seperti apa yang akan diproses di situ. Beda jenis minyak mentahnya beda pula desain teknologinya.
Para pemilik minyak mentah tahu posisi strategisnya itu. Mereka bisa mendikte banyak hal: mendikte harga dan mendikte pasokan. Investor kilang yang ingin masuk ke Indonesia, misalnya, meminta berbagai syarat yang luar biasa beratnya: tanahnya seluas 600 ha harus gratis, pemerintah harus menjamin macam-macam, dan pajaknya minta dibebaskan dalam masa yang sangat panjang.
Kalau dalam masa pemerintahan Presiden SBY ini berhasil membangun tiga proyek kilang sekaligus, tentu ini sebuah warisan yang sangat berharga. Saya sebut warisan karena bukan Presiden SBY yang akan menikmati hasilnya, tapi pemerintahan-pemerintahan berikutnya.
Dari gambaran itu, jelaslah bahwa sampai lima tahun ke depan impor BBM kita masih akan terus meningkat. Kecuali ide almarhum soal konversi ke gas itu berhasil dilakukan dan mobil listrik nasional berhasil dimassalkan. Kilang-kilang baru itu, seandainya pun berhasil dibangun, baru akan menghasilkan BBM di tahun 2018.
Kita tahu persis apa yang terjadi dalam lima tahun ke depan. Saat kilang-kilang itu nanti mulai berproduksi kebutuhan BBM sudah naik lagi entah berapa puluh juta kiloliter lagi. Berarti, impor lagi. Impor lagi.
Di sinilah Prof Widjajono geram. Kenaikan harga BBM, menurut beliau, seharusnya juga dilihat dari aspek pengendalian impor ini. Yang tidak menyetujui kenaikan harga BBM, menurut beliau, pada dasarnya sama saja dengan menganjurkan impor BBM sebanyak-banyaknya!
Kalau Prof Widjajono sering mengajak saya bicara soal konversi gas, saya sering mengajak bicara beliau soal mobil listrik nasional. Termasuk perkembangan terakhirnya. Saya tahu konversi gas memang bisa dilakukan lebih cepat dari mobil listrik nasional. Namun, kami sepakat dua-duanya harus dijalankan. Kami juga sepakat bahwa upaya ini tidak mudah, tapi pasti berhasil kalau dilakukan dengan semangat Angkatan 45.
Saya bersyukur sempat menginformasikan perkembangan terakhir mobil listrik nasional. Ribuan email dan SMS mendukung dengan gegap-gempita kehadiran mobil listrik nasional itu. Dan yang secara serius mengajukan konsep, desain, dan siap memproduksikannya ada empat orang.
Saya sudah melakukan kontak intensif dengan empat orang tersebut. Saya juga sudah membuat grup email bersama di antara empat orang tersebut. Kami bisa melakukan rapat jarak-jauh membicarakan program-program ke depan. Tanggal 21 April kemarin, kami menyelenggarakan rapat sesuai dengan program semula, meski pun rapat itu berlangsung di dunia maya.
Empat orang tersebut adalah orang-orang muda yang luar biasa.
Ada nama Mario Rivaldi. Dia kelahiran Bandung, pernah kuliah di ITB, kemudian mendapat bea siswa kuliah di Jerman. Mario bahkan sudah melahirkan prototype sepeda motor listrik dan mobil listrik. Saya sudah pernah mencobanya di Cimahi. Mario sangat siap memproduksi mobil listrik nasional. Selama ujicoba itu tiga tahun terakhir, Mario bekerjasama dengan LIPI dan ITB.
Ada nama Dasep Ahmadi yang juga kelahiran Tanah Sunda. Dasep lulusan ITB (Teknik Mesin), yang kemudian sekolah di Jepang. Dasep pernah bekerja lama di industri mobil sehingga tahu persis soal permobilan. Kini Dasep mengembangkan industri mesin presisi dan memasok mesin-mesin untuk industri mobil. Dasep sangat siap melahirkan prototype mobil listrik nasional dalam dua bulan ke depan. Saat ini Dasep sedang mengerjakan mobil-mobil itu.
Ada nama Ravi Desai. Anak muda ini lahir di Gujarat, tapi sudah lama menjadi warga negara Indonesia. Dia lulusan universitas di India dan kini menekuni banyak bidang inovasi. Dia mendirikan D Innovation Center dengan fokus ke energi. Ravi juga menekuni DC dan AC drive dan sudah memasarkannya sampai ke luar negeri. Saat ini Ravi sedang mengerjakan dua contoh mobil listrik nasional dan sudah akan selesai dalam dua bulan mendatang.
Ada pula nama Danet Suryatama. Anak Pacitan ini setelah lulus ITS melanjutkan kuliah di Michigan, AS. Danet kemudian bekerja di bagian teknik pabrik mobil besar di Amerika Setikat, Chrysler, selama 10 tahun. Danet sangat siap memproduksi mobil listrik nasional. Saat ini, sambil mondar-mandir Amerika-Indonesia, Danet sedang menyelesaikan contoh mobil listrik nasional yang juga siap dikendarai dalam dua bulan ke depan.
Tentu saya bisa salah. Lantaran email yang masuk jumlahnya ribuan, mungkin saja ada nama-nama lain yang tidak kalah hebat dan siapnya namun terlewat dari mata saya. Untuk itu saya siap menerima koreksi dan nama susulan.
Kepada keempat orang itu saya juga sudah informasikan betapa besar perhatian Presiden SBY pada perencanaan mobil listrik nasional ini. Saya juga kemukakan suasana pertemuan antara Presiden SBY dan empat rektor perguruan tinggi terkemuka (ITB, UGM, UI, dan ITS) yang penuh dengan semangat.
Waktu itu para rektor menyatakan sangat mendukung kelahiran mobil listrik nasional ini dan memang sudah waktunya dilahirkan. Para rektor juga mengemukakan masing-masing perguruan tingginya siap memberikan dukungan apa saja.
Sebenarnya saya ingin menghadirkan Prof Widjajono dalam pertemuan dengan empat putra petir itu dalam waktu dekat. Tapi, Prof Widjajono lebih dulu meninggalkan kita. Meski begitu Prof, saya berjanji kepada Profesor akan tetap meng-emailkan hasil pertemuan dengan empat putra petir itu ke alamat email Anda yang pernah Anda berikan kepada saya. Saya juga berjanji akan mengirimkan foto-foto mobil listrik nasional itu nanti ke alamat email Anda. (*)
Dahlan Iskan
Menteri BUMN